Capaian Kinerja Indeks Kepuasan Masyarakat dan Service Quality Pendidikan SMK terhadap Brand Image SMK di Kabupaten Blitar Mohammad Taufik Hidayat, SE


A. Latar Belakang
 Salah satu tujuan dari kebijakan otonomi daerah adalah mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Indikasi dari kualitas pelayanan publik ini antara lain adalah ketika masyarakat merasa puas dengan pelayanan  yang diselenggarakan oleh pemerintah. Begitu pula di sektor pendidikan, sebagai salah satu sektor layanan publik dasar yang baru mendapatkan perhatian besar dari Pemerintah. Sesuai amanat UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan nasional ini kemudian dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, dimana diatur bahwa Pemerintah Daerah harus mengalokasikan anggaran dari belanja daerah sekurang-kurangnya 20% untuk pendidikan.
Pemerintah Kabupaten Blitar sampai saat ini masih terus melakukan inovasi  kebijakan agar dapat mempertahankan dan meningkatkan citra sebagai kabupaten pendidikan. Visi pendidikan yang menitikberatkan pada ikon Blitar sebagai kabupaten pendidikan berkualitas, mensyaratkan adanya perbaikan mutu pelayanan pendidikan bagi masyarakat Kabupaten Blitar. Potensi pendidikan di Kabupaten Blitar sangat besar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kabupaten Blitar juga sebagai barometer pendidikan nasional yang menjadi rujukan bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai Kabupaten Pelajar, Blitar juga menyimpan potensi pengembangan sumber daya manusia generasi muda yang dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Adanya peningkatan aspirasi pelayanan dari masyarakat pengguna yang menuntut perlunya perbaikan kualitas pemberian layanan publik dari Pemerintah. Saat ini warga atau publik telah menjadi semakin kritis untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan. Demikian pula iklim good governance menuntut agar penyelenggaraan pelayanan publik dapat semakin transparan, berkepastian, responsif, efisien, dan menghargai hak-hak dan kewajiban pengguna layanan. Masyarakat pada saat ini sudah semakin well-informed menyangkut berbagai informasi pelayanan penyelenggaraan pelayanan publik. Namun, seringkali informasi yang diterima masyarakat tersebut berasal dari sumber mass media, yang seringkali tidak akurat. Tentu saja kondisi demikian bila dibiarkan akan dapat menyesatkan, karena publik tidak akan pernah mendapatkan sumber informasi yang dapat dipercaya (kredibel) dan akurat menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik.
Oleh sebab itu, kebutuhan akan adanya indeks kepuasan layanan pendidikan tidak saja penting bagi Pemerintah Kabupaten Blitar, tetapi juga penting bagi masyarakat sebagai pengguna layanan dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Dengan adanya indeks pelayanan pendidikan, diharapkan akan dapat memunculkan berbagai inovasi program pendidikan yang mengarah pada perwujudan Blitar sebagai Kabupaten Pendidikan Berkualitas.
Reformasi pelayanan publik mulai dikembangkan dan dilakukan di negara-negara Eropa Barat  pada awal tahun 1980-an. Satu paradigma baru yang dikembangkan dalam reformasi pelayanan publik di Eropa Barat adalah apa yang dinamakan sebagai “Neo-Managerial Reform[1], dimana terdapat beberapa prinsip global berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik, yakni antara lain; (1) a business oriented approach to government; (2) a quality and performance oriented approach to public management; (3) an emphasis on improved public service delivery and functional responsiveness. Reformasi pelayanan publik yang dilakukan negara-negara Eropa Barat dengan demikian telah lama mengadopsi prinsip-prinsip bisnis ke dalam sistem pelayanan birokrasi Pemerintah, seperti adanya indikator kinerja untuk melihat kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
                Denhardt & Denhardt[2] menyatakan bahwa “public choice theory” merupakan jembatan penghubung dan kunci teoritis yang menjadi dasar adanya “The New Public Management”. Beberapa prinsip dalam teori “Public Choice”, seperti adanya asumsi bahwa individu-individu cenderung berperilaku rasional, yakni “memaksimalkan keuntungan/manfaat” dalam mengambil suatu keputusan, dan adanya konsep “public goods” sebagai output dari adanya insitusi/badan-badan penyelenggara pelayanan publik, memperlihatkan bahwa individu-individu dalam masyarakat selalu berupaya memenuhi kepentingannya dan memaksimalkan keuntungan dari adanya pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Individu-individu selalu berupaya agar mereka mendapatkan keuntungan yang maksimal dari adanya pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah, seperti dari sisi waktu, biaya, kemudahan prosedur layanan, dan sebagainya.
Ide dasar dari munculnya “the New Public Service” ini sebenarnya berbasis pada perkembangan dari “the New Public Management”, terutama adanya perkembangan diskursus konseptual dari adanya; (1) theories of democratic citizenship; (2) models of community and civil society; (3) organizational humanism and the new public administration; (4) postmodern public administration. Dalam konsep “Democratic Citizenship”, apa yang dimaksud dengan “Citizenship” merujuk pada kemampuan yang dimiliki oleh individu-individu sebagai anggota suatu komunitas politik untuk dapat mempengaruhi sistem politik, ini membawa konsekuensi pada keterlibatan warga negara dalam proses kehidupan politik. Pada konteks administrasi publik, suatu konsep yang berkembang dalam buku “Government is Us” (King & Stivers, 1998) dan “Citizen Governance” (Box, 1998)[3] telah memunculkan pemikiran bagaimana pejabat birokrasi dalam membuat dan merumuskan suatu bentuk pemerintahan yang menjadikan pengguna layanan sebagai pusat perhatian.
                Pejabat birokrasi harus melihat dan menempatkan warga pengguna layanan sebagai “warga kabupaten/negara” (citizens), lebih dari sekedar sebagai sekumpulan individu-individu pemberi suara dalam pemilu, klien, atau bahkan sebagai “customers” sekalipun. Oleh karena itu, birokrasi harus dapat responsif dan senantiasa menjalin komunikasi dengan warga masyarakat untuk memperoleh atau memelihara “kepercayaan warga”. Kepercayaan dari warga (citizen trust) hanya dapat diperoleh bila birokrasi dapat secara sistematis melibatkan warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan tata-pemerintahan dan pemberian pelayanan. Konsep pelibatan warga dalam keseluruhan proses “governance” (theories of citizenship and civic engagement) ini yang mendasari munculnya terminologi “the New Public Service”.
                Terdapat 7 Prinsip dasar dalam pemikiran “the New Public Service”, yakni; (1) Serve citizens, not Customers; apa yang menjadi kepentingan publik merupakan hasil dari adanya dialog (shared values) dari berbagai individu dalam masyarakat. Pejabat birokrasi dengan demikian tidak hanya merespon apa yang menjadi kebutuhan dari “customers-nya” saja, melainkan juga harus tetap membangun hubungan, membangun kepercayaan dan kerjasama dengan berbagai kelompok/individu dalam masyarakat lainnya; (2) Seek the public interest; pejabat birokrasi harus memberikan kontribusi pada apa yang dinamakan “kepentingan bersama”, birokrasi harus mampu mentransformasikan pemikiran adanya pembagian tanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik, artinya masalah yang muncul dalam pemberian pelayanan publik adalah masalah bersama yang harus dipikirkan dan dipecahkan bersama pula; (3) Value citizenship over enterpreneurship, kepentingan publik adalah kondisi yang lebih baik yang akan diwujudkan oleh birokrasi pelayanan, perwujudan oleh birokrasi dari apa yang menjadi kepentingan publik ini merupakan sumbangan yang jauh lebih berharga bagi kemajuan masyarakat; (4) Think strategically, Act Democratically, kebijakan dan program yang dibuat harus mencerminkan kebutuhan warga masyarakat, serta harus dilaksanakan secara efektif, responsibel melalui suatu proses kegiatan yang kolaboratif; (5) Recognize that accountability is not simple, pejabat birokrasi harus memberikan perhatian lebih pada mandat yang diberikan oleh Undang-Undang pada birokrasi untuk menyelenggarakan pelayanan pada publik, nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, norma-norma politik, standar profesionalisme, dan kepentingan warga dalam menyelenggarakan pelayanan; (6) Serve rather than Steer, model kepemimpinan dan manajemen dalam birokrasi harus dapat menjamin dan membantu kepentingan dan aspirasi warga dapat tersalurkan secara efektif dalam sistem pelayanan, jadi birokrasi bukan sekedar melakukan pengawasan pada aktivitas warga melalui serangkaian penciptaan regulasi yang membatasi kegiatan warga; (7) Value people, Not Just Productivity, birokrasi sebagai organisasi publik dapat menjalankan misinya bila mengadopsi prinsip-prinsip partisipasi, mengedepankan proses kolaboratif, dan menganut pola kepemimpinan yang menghargai semua warga masyarakat.
Dalam studi ini, fokus diarahkan pada proses penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai satuan penyelenggara pelayanan pendidikan di lingkup Dinas Pendidikan, Kabupaten Blitar. Satuan/Unit penyelenggara pendidikan yang dimaksud dibatasi pada SMK Negeri. Dengan demikian, cakupan kegiatan pengukuran indeks pendidikan hanya difokuskan pada sekolah-sekolah Kejuruan negeri yang mulai mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat di Kabupaten Blitar.
Studi ini akan melihat tingkat kepuasan pengguna layanan pendidikan. Yang dimaksud pengguna layanan pendidikan dalam penelitian ini adalah para siswa dan/atau orang tua/wali siswa serta dunia usaha dan industri. Responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni; (1) responden siswa untuk tingkat SMK Negeri. (2) responden orang tua/wali siswa SMK Negeri (3) Stake holder Lainnya Masyarakat sekitar sekolah, Dunia usaha dan Dunia Industri pengguna lulusan SMK.
Pelayanan publik merupakan unsur yang sangat penting dalam sistem masyarakatmodern. Tujuan pelayanan publik adalah untuk menyediakan pelayanan yang terbaik bagi publik atau masyarakat. Pelayanan yang terbaik adalah pelayanan yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap kepuasan publik atas pelayanan yang diterima.
Salah satu jenis layanan publik yang sangat mendasar bagi masyarakat adalah sektor pendidikan. Pada pasal 5, Undang-Undang No 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu penyusunan indeks kepuasan masyarakat terhadap layanan pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dilakukan untuk melihat sejauhmana tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan pendidikan khususnya yang ada di wilayah pemerintah Kabupaten Blitar.
Penilaian indeks kepuasan layanan pendidikan dalam hal ini diukur dengan menggunakan enam indikator meliputi: 1. Metode Pembelajaran, 2. Metode evaluasi belajar, 3. Kinerja guru, 4. Fasilitas sekolah, 5. Tata kelola sekolah dan 6. etika pelayanan. Besaran angka indeks kepuasan pengguna layanan  berkisar dari  angka 0 sampai dengan 1. Semakin dekat indeks kepuasan terhadap angka 1, maka semakin puas masyarakat pengguna layanan terhadap kualitas layanan. Sebaliknya semakin jauh indeks kepuasan terhadap angka 1 (dekat dengan angka 0) maka semakin tidak puas masyarakat pengguna layanan terhadap kualitas layanan.
Berdasarkan prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam keputusan Men- PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang telah dikembangkan, maka terdapat minimal 14 unsur yang relevan, valid dan reliabel yang akan dijadikan dasar pengukuran indekskepuasan masyarakat terhadap pelayanan, yakni:
  1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan;
  2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya;
  3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya);
  4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;
  5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan ;
  6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat;
  7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan;
  8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani;
  9. Kesopanan dan keramahan petugas pelayanan, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati;
  10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan;
  11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan;
  12. Kepastian jadual pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
  13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima layanan;
  14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara palayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Pengaruh Service Quality Jasa Pendidikan dan Kinerja Indeks Kepuasan Masyarakat  SMK  terhadap Brand Image SMK di Kabupaten Blitar
RUMUSAN MASALAH
1.       Berapa besar  tingkat pelayanan pendidikan berdasarkan 6 faktor UU Sisdiknas
2.       Berapa besar  tingkat kepuasan masyarakat berdasarkan 14 indikator Indeks Kepuasan Masyarakat?
3.       Adakah hubungan tingkat pelayanan pendidikan dengan brand image SMK di Kabupaten Blitar
4.       Adakah  hubungan tingkat kepuasan masyarakat dengan brand image SMK di Kabupaten Blitar
5.       Adakah pengaruh Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap Brand Image SMK di Kabupaten Blitar
TUJUAN
1.       Mengetahui tingkat kepuasan masyarakat berdasarkan 14 indikator Indeks Kepuasan Masyarakat
2.       Mengetahui tingkat pelayanan pendidikan berdasarkan 6 faktor UU Sisdiknas
3.       Mengetahui hubungan tingkat kepuasan masyarakat dengan brand image SMK di Kabupaten Blitar
4.       Mengetahui hubungan tingkat pelayanan pendidikan dengan brand image SMK di Kabupaten Blitar


 



[1] Theo AJ. Toonen & Jos CN Raadschelders, Backgroundpaper for the Presentation on Public Sector Reform in Western Europe, Conference on Comparative Civil Service Systems, School of Public and Environmental Affairs (SPEA), Indiana University, Bloomington (IN), april 5 - 8, 1997. This paper is produced in the context of a comparative research project on public sector reform in Central, Eastern and in Western Europe (dir: Joachim Jens Hesse, Oxford/Berlin)

[2] Denhardt, Janet V. & Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service,  M.E. Sharpe,Inc., New York.
[3] Lihat dalam Denhardt & Denhardt, 2003:32.

Komentar

Postingan Populer